Tuesday 31 March 2009

Adab kepada Sang Pencipta

Sekedar meneruskan ucapan seorang 'ulama' yakni Sheikh Nazim al-Haqqani, dalam "Mercy Oceans' Hidden Treasures."

------------------------------------

"If a person is expecting any reward for his devotions, it means that he sees his own actions as being good enough and worthy of reward from Allah. Whosoever thinks that his actions or worship are suitable for the Divine Presence has no knowledge of absolute truth (haqiqa) and its secret knowledge. therefore you may see them worshipping enthusiastically, pushed on to ever more devotions just because they are thinking , 'These are good actions and I shall reap my reward for them', but it never occurs to them that those actions aren´t suitable for the Divine Presence.

You must be careful not to misunderstand me, nor to turn the intended meaning upside down; no doubt as a result of what we are saying here, some people will accuse us of discouraging from worship –far from it, Allah is my witness! We are never discouraging anyone from worship, we are only teaching people the highest good manners (adab) with their Lord, and that adab is, not to be contended with the amount of your worship while you effectively destroy its merits with your pride and with your thinking that it will be the first class in the Divine Presence; it is better to present your worship to your Lord saying, 'Oh my Lord, I am ashamed to send this before your Divine Presence. Forgive me my shortcomings and inability to worship or thank You as You deserve to be worshipped and thanked'.

I heard of one great saint who, every time he came to the mosque to pray with the congregation, would wait until everyone had entered, and only then enter the mosque himself, standing next to the shoe-rack and praying there. Then, as soon as the prayer was finished, he would run out of the mosque saying, 'Praised be the Lord, for He has covered for me the badness of my condition so that no one could detect it. If those people were to know what I am really like inside, they would chase me out of the mosque, throwing their shoes at me and beating me with them'."

Manusia sebagai "Hewan" yang Berpikir

by: Asfa Widiyanto

"Al-insan hayawan natiq", begitu ujar sementara filosof dan ahli logika. Ungkapan ini sering diartikan, "manusia adalah ´hewan´ yang berpikir". Dalam bahasa Arab, kItalicata "natiq" berakar dari kata "nutq", yang secara literal adalah "kemampuan berbicara" tapi sebenarnya juga merujuk pada "kemampuan berpikir dan mengartikulasikan buah pikiran antara lain dengan berbicara dan sebangsanya".

Dalam kerangka ini, "berpikir" adalah salah satu atribut dan karakter yang melekat pada makhluk yang bernama manusia. Adalah berbahagia, orang yang bisa mendayagunakan secara optimal kemampuan yang dianugerahkan Tuhan ini untuk kemaslahatan umat manusia. Dan berbahagia pula orang yang memiliki keleluasaan berpikir tanpa harus dihujani pelbagai macam "ultimatum" yang mengkondisikan dia untuk "memodifikasi" dan "mengkamuflasekan" buah pemikirannya (karena tidak mau terlalu berseberangan dengan "kepentingan" makhluk yang kebetulan diamanahi dan dianugerahi Tuhan dengan secuil kekuasaan-Nya, misalnya).

Seuntai Doa untuk Palestina dan Israel

by: Asfa Widiyanto

Turut mengamini doa saudara tercinta saya. Amin.
Seraya mengimbuhkan seuntai doa lain, “Ya Allah semoga Engkau menurunkan rahmat dan kasih sayangMu pada saudara-saudara kita di Palestina, semoga Engkau limpahkan pada mereka ketabahan dan kekuatan untuk membebaskan diri sehingga bisa hidup sebagaimana layaknya manusia. Ya Allah semoga Engkau turunkan juga rahmat dan kasih sayangMu pada saudara-saudara kita di Israel sehingga mereka mau menunjukkan dan mencurahkan kasih sayangnya yang tulus pada saudara-saudaranya di Palestina, seraya mengingat bahwasanya, “wa rahmati wasi´at kulla shay´” (Rahmat-Ku menjangkau dan meliputi segala sesuatu) (By the way, doa yang relatif utopis...tapi bukan berarti sama sekali mustahil-))

Allah Rahman! Allah Rahim! Allah Ra´uf! Allah Ghafur!
Terus terang dalam beberapa kasus saya lebih prefer mengumandangkan kata-kata tersebut, walau belum begitu pantas. Tapi lebih kurang pantas lagi kalo lidah saya meneriakkan secara heroik „Allah Akbar“, sementara salah satu implikasi dari kata itu saya lupakan yakni „ana asghar al-makhluqat“ (saya makhluk yang paling rendah) bzw. "ana awhan al-mawjudat" bzw. „ana ahqar al-khalaiq, qabil li al-nuqsan wa al-khataya“ (saya makhluk paling hina dina yang tidak luput dari kekurangan dan kealpaan).

Saya akan terima dengan senang hati, kalau ada yang mau meluangkan waktu memberikan tanggapan atas keterangan saya (al-ta´liqa ´ala al-ta´liqa), atau kemudian berupaya "mendekonstruksi" keterangan saya (tahafut al-ta´liqa). Dan proses dialektika seperti itu adalah wajar, kerana manusia penuh dengan keterbatasan dalam mencerap sebuah fenomena, seraya mengingat bahwa diri kita sangat rendah yang tak luput dari dosa dan kesalahan dan yang sebangsanya.

Waktu ngaji dulu, ketika masih kecil (sekarang dah tua, minimal "bermutu" (bermuka tua:))), sayup sayup masih terukir di benak saya, "ukhuwwah insaniyyah" atawa "ukhuwwah bashariyyah," yakni kita harus menghormati orang lain simply kerana mereka kebetulan ditakdirkan Allah untuk dilahirkan sebagai makhluk yang berjudul manusia. Walaupun jelas, salah satu yg harus lebih diutamakan seorang muslim adalah "ukhuwwah islamiyyah".

Kadang terlintas di benak saya, tidak ada ruginya bagi kita (dan inshaallah tidak berkurang pahala amal kebajikan kita) bila orang yg kebetulan saat ini berseberangan dengan kita, kemudian diluluhkan hatinya, untuk kemudian menunjukkan kasih sayangnya kepada kita dan mau menekankan harkat martabat manusia (die Würde des Menschen) tanpa kecuali seraya mengingat bahwasanya "wa rahmati wasi´at kulla shay´" (Rahmat-Ku menjangkau dan meliputi segala sesuatu) (lagi-lagi harapan seperti ini, bisa dipahami sementara orang sebagai "utopis").

Celotehan tentang Filosof dan Sebangsanya

by: Asfa Widiyanto

Filosof adalah semacam label bzw. ungkapan yang dialamatkan pada orang yang mau berpikir secara mendalam (radikal) terhadap „yang ada“ (being) dan yang „mungkin ada“ (possible being) (kata Immanuel Kant, „fenomena“ (phenomenon) dan „nomena“ (nomenon)).
Sekedar flashback, dalam sejarahnya, ambil contoh pada zaman Yunani beberapa abad sebelum masehi, para filosof sangat setia kepada apa yang diyakininya sebagai output cara berpikir yang sehat dan sahih. Dikisahkan, Socrates sampai „memilih“ meminum racun ketimbang harus mencabut buah pemikirannya yang tertelurkan dari alur berpikir yang dianggap sahih, secara dia melihat bahwa penguasa yang mengancamnya tidak bisa menawarkan argumen yang lebih memadai. Dalam setting intelektual dan sosio-politis semacam itulah kemudian sekumpulan filosof memunculkan wacana “seyogyanya kepala negara adalah filosof“.

Pendapat ini dinilai sementara orang adalah naif, secara menafikan kenyataan bahwa orang idealis pun kalau bersinggungan dengan kekuasaan akan cenderung tiran. Tapi gerombolan filosof pun punya argumentasi sendiri, antara lain, setidaknya makhluk idealis yang setia pada cara berpikir yang sahih dibutuhkan dalam pemerintahan, dan orang seperti ini kadar kemungkinannya dan „reception“-nya pada tirani, relatif lebih kecil daripada orang yang kurang idealis.

Salah satu buah pemikiran yang terlahirkan pada masa Yunani adalah „demokrasi“, „republik“ dan „akademi“ (yang kemudian diturunkan menjadi "Akademi Fantasi Indonesia"--)).
Dalam "kaca mata" dan „contact lens“ sementara filosof (emang filosof ada yang memakai contact lens juga, kemayu), „tidak memilih“ pada hakekatnya adalah „memilih“, „tanpa pilihan“ pada dasarnya adalah „pilihan“, "tanpa syarat" itu adalah "syarat", "tanpa embel-embel" itu adalah juga "embel-embel" dan seterusnya.

Dari satu sisi, „maqam“ para filosof di atas jelas lain dengan „maqam“ orang yang diultimatum saja akhirnya mencabut emailnya dari peredaran atawa menghapus foto dari beberapa obyek yang menarik seperti seonggok makhluk tidur di kursi dan sebangsanya. Padahal itu dari satu sisi maha karya bzw. karya seni yg bernilai tinggi-)) (Di haribaan "makhluk nan terhormat" ini hak berbicara dan berpendapatnya (redefreiheit bzw. meinungsfreiheit) seakan tumpul-))).

Karena Kita Dilahirkan Sebagai Manusia...

by: Asfa Widiyanto

Kenyataan bahwa kita dilahirkan itu sudah menunjukkan keterbatasan kita. Kelahiran sendiri menggarisbawahi bahwa keberadaan kita meniscayakan perantaraan (dan bantuan) makhluk lain. Kita tidak "ada" dengan sendirinya, karena itu pada hakekatnya kita adalah "ada" yang nisbi atau relatif (mumkin al-wujud, possible being). Satu fakta lagi, kita dilahirkan di dunia, sebuah tempat yang relatif terbatas.

Dengan demikian alangkah indahnya bila menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas, antara lain oleh ruang (space, raum) dan waktu (time, zeit). Perspektif dan persepsi kita tentang realitas sekeliling kita sedikit banyak dipengaruhi oleh cerapan inderawi kita terhadap fenomena yang ada, yang dilingkupi oleh ruang dan waktu tertentu. Karena indera kita itu terbatas (dan juga dibatasi ruang dan waktu, serta melekat pada diri kita yang, by nature, terbatas), maka hasil olah pikir kita berdasarkan cerapan tadi juga memiliki nilai "keterbatasan".

Adalah makhluk yang arif jika menyadari "keterbatasan" itu, seraya mengoptimalkan apa yang dianugerahkan Tuhan, untuk memahami realitas secara relatif lebih luas (walau masih dalam kerangka "keterbatasan" tadi). Makhluk yang arif tadi, dengan menyadari "keterbatasan"nya, juga dengan lapang dada mau menimbang dan memperhatikan produk pikir makhluk lain, karena menyadari bahwa bisa saja makhluk lain tadi membeberkan dan menampilkan sisi realitas yang tidak tersentuh oleh indera dan rasionya. Pandangan makhluk lain tadi berpotensi memperkaya pemahaman, pandangan dan persepsinya terhadap realitas.

Manusia merupakan makhluk yang dianugerahi Allah dengan perbedaan bzw. keunikan. Menganggap diri kita paling benar ketika kebetulan dalam posisi berbeda dengan orang lain bisa dianggap sebagai salah satu indikasi kekurangluasan cara berpikir dan kekurangdewasaan kita. Dalam hal ini, keseragaman adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Salah satu yang bisa dilakukan sementara orang adalah "memodifikasi" supaya kelihatan seragam (dan itu dari satu sisi bisa dikatakan relatif kontra-produktif).

Di penghujung tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca dan terutama penulis sendiri untuk merenungkan perkataan seorang ´ulama´abad ke-19: "Ada satu sifat yang jika melekat pada diri seorang anak manusia, berpotensi menurunkan derajat manusia tersebut di hadapan Sang Pencipta. Sifat atau perangai tersebut adalah merasa dirinya lebih berilmu, lebih utama, lebih bersih dan lebih suci daripada orang lain.".