Saturday 30 May 2009

Capres-capresan sebagai Ajang Pembelajaran Politik

by: Asfa Widiyanto


Terus terang saya sangat terkesan dengan dinamika diskursus pilpres di beberapa media massa dan mailing list akhir-akhir ini. Semoga kita semua, tanpa kecuali, bisa mengambil sisi positifnya. Kita boleh aja ngefans dengan salah satu capres, tapi semoga kita (termasuk saya, karena kecenderungan itu manusiawi) tidak tergiur dan tergoda utk melakukan "negative campaign". Saya sangat sadar bahwa apa pun pilihan kita di pilpres nanti, kita tetap satu bangsa dan brsaudara.

Dialektika dalam ngefans-ngefans-an capres itu tentu ada nilai positifnya, antara lain sebagai ajang pembelajaran politik, supaya kita bisa lebih "melek" dan cerdas secara politik. Dan tentunya berpolitik secara sehat akan lebih menambah nilai positif itu, yang pada gilirannya akan turut bersumbangsih secara positif bagi kemajuan bangsa.

Widi
(yang untuk sementara lebih senang mengiklankan diri sendiri daripada mengiklankan capres-))

Monday 25 May 2009

Bacaan "Indah" di Masa "Indah" Itu (Juz. 2)

by: Asfa Widiyanto

Fatwa seorang bakul jamu, “kadang kita harus hati-hati dalam mencerna dan menelan tulisan di media semacam “era muslim” dan “suara hidayatullah”. Sebagian tulisan dalam media ini kadang mencampuradukan (sampai “mulek” dan tidak jelas) antara “analisis”, “fakta”, dan “penghakiman”. Sebagian tulisan dalam media ini kadang mengaduk-aduk dan membidik “sentimen” dan “emosi” keagamaan, belum beranjak ke ranah “kedewasaan beragama” alih-alih pada spiritualitas. Walau harus diakui bahwa ada sebagian tulisan di media ini sudah menyentuh ranah “kedewasaan beragama”.

“Kedewasaan beragama” adalah sebuah keberagamaan atawa sikap beragama yang berupaya memaknai kesalehan dan keimanan dalam arti luas, antara dengan menghayati makna kesalehan dan keimanan bagi kemaslahatan bangsa, agama dan umat manusia secara umum. Sikap beragama yang tidak mudah tergesa-gesa dalam “menghakimi” orang lain yang berbeda sikap dan pandangan. Sikap beragama yang menghindari menyalahkan dan mengkambinghitamkan orang lain sebagai penyebab dalam melupakan sebagian ajaran agama. Salah satu contoh dari tulisan bernuansa relatif lebih positif ini adalah tulisan seorang bonek di “era muslim” (sengaja saya tulis ini biar tidak diultimatum untuk mencabut pernyataan oleh bonek yang dirahmati Allah itu--)).”

Pola tulisan yang kurang dewasa itu memang bisa kita temukan di media-media lain (seperti kata Ike) walau dengan kadar dan intensitas yang berbeda-beda. Karena itu, dibutuhkan kekritisan (di samping juga kearifan) dalam mencerap semua informasi, baik yang berasal dari kelompok kita sendiri maupun dari kelompok lain. Sikap kritis, klarifikatif, tabayyun atau term lain yang senada memang layak kita pelihara dalam menyikapi setiap informasi. Sedangkan kearifan memberikan ruang yang relatif layak dalam diri kita untuk menerima kemungkinan adanya kebenaran di kelompok lain.

Si penjual buah berujar, “Kita sebaiknya lebih memperhatikan apa yang dibicarakan (materi pembicaraan) dari pada orang yang mengeluarkan pernyataan. Ungkapan ini menandaskan bahwa kearifan itu bisa muncul dari mana saja, dan kadang tidak terikat dengan status sosial dan embel-embel dari “produsen statement”. Ungkapan ini juga senada dengan ´ambillah hikmah dimana saja sekalipun itu keluar dari mulut makhluk yang kita anggap hina´. Di sisi lain, kita dianjurkan untuk ´memperhatikan dari mana kita mengambil ilmu agama kita´. Dalam khazanah Islam, ungkapan ini kemudian meniscayakan perlunya akan guru yang otoratif dan melahirkan konsep-konsep semacam silsila (chain of authority), isnad (chain of transmission) dan ijaza (licence or authorization). Di sisi lain lagi, kita dianjurkan untuk melakukan klarifikasi (tabayyun) atas informasi yang kita terima dari orang lain. Teks aslinya adalah “idha ja´akum fasiq bi naba´” (jika seorang fasiq membawa kabar padamu). Walau sikap kritis sebaiknya kita terapkan pada hampir setiap kita menerima informasi dari orang lain. So wahai bakul jamu, pikirkan dan renungkan sendiri relevansi dan korelasi antara ketiga hal itu. Itu PR buatmu!.”

Neo-Liberal, Kebangsaan atawa Kerakyatan?

by: Asfa Widiyanto

Ketika seorang teman mengajukan pertanyaan seperti itu, saya pun jadi bingung. Maka kemudian saya menyempatkan diri untuk silaturahim dan bertanya sana sini sinu.
Karena sekarang lagi di desa,saya cuma bisa tanya pada dukun bayi. Beliau berfatwa, "Sejauh ini saya belum melihat perbedaan yang mendasar antara ketiga paham yg digembar-gembor- gemburkan itu. Ketiga istilah itu, sejauh pemahaman saya, tidak berasal dari rumpun yang sama. Penunjukkan ketiga term itu juga menurut saya belum jelas. Pernyataan saya ini juga tidak jelas, dan hanya bertujuan membuat semangkin tidak jelas sesuatu yang kurang jelas".

"Paham jualan capres itu (dan label terhadap program jualan capres) kadang kurang tegas dan pilah substansinya. Apa ini karena tipologi sendiri kadang tumpang tindih dan berselingkuh sana sini. namun kalau pun toh tipologi itu terbiasa tumpang tindih, seharusnya orang yg menggagas dan memberi label pada sebuah pemikiran lebih hati-hati, sehingga isinya juga relatif lebih terarah dan jelas."

Dalam beberapa hal saya lebih menemukan kearifan dalam fatwa bzw. pernyataan dukun bayi daripada pernyataan sementara lembaga. Mungkin karena dia berpikir secara lebih independen dan setia pada idealismenya, pada kaedah berpikir yang sahih. Sedangkan sementara lembaga ini kadang terkesan menggadaikan idealismenya demi menghamba pada “kepentingan politik” tertentu. Dengan kata lain, dari satu sisi, bisa dikatakan mereka ini kaum merdeka dan terpelajar namun dengan "mentalitas budak".

Salam,
Widi (bakal-bakal capres)
“Kalau bangsa ini ingin tetap terjaga “kesatuan” (vidhi, sanskerta) dan bergerak secara progresif dengan berdasar pada “pengetahuan dan kearifan” (vidya, sanskerta), maka pilihlah saya” (Pernyataan ini tidak logis, kontradiktif, tidak pada tempatnya, tarkesan (arogan dan) narsis. Kalau saya memang arif mengapa harus mengaku-aku dan menunjuk-nunjukkan diri sebagai orang yang arif, dan mengapa pula harus mengklaim sebagai satu-satunya orang yang bisa membawa bangsa pada kemajuan berdasar pengetahuan dan kearifan).

Wednesday 13 May 2009

Presiden Negeri Tercinta Itu

by: Asfa Widiyanto

Menurut penerawangan seorang dukun bayi, "Presiden Indonesia itu namanya harus mengandung "Su". Coba liat saja, presiden pertama Sukarno, kedua Suharto, ketiga Habibie (lho yang ini kok ndak ada "Su"-nya....ada aja, Habibie itukan dari bahasa Arab, kalau diterjemahkan ke bahasa jawa jadi Sutrisno. Oya, nama lengkap Habibi itu kan Baharuddin Yusuf Habibie, walau "Su"di "Yusuf" itu kurang dominan, antara lain karena bukan di awal kata), keempat Abdurrahman Wahid (lho yg ini juga tidak ada "Su"-nya....ada aja, Wahid itu kan kalau diterjemahkan ke bahasa Jawa jadi "Suiji"...bentuk penyangatan (ism al-ta´kid) dari "siji", yang berati satu). Megawati juga ada "Su"-nya, kan nama lengkap beliau adalah Megawati Sukarno Putri, dan kata sementara pengamat beliau jadi presiden karena faktor "Sukarno putri"-nya. Presiden kelima juga ada "su"-nya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, seseorang yang dijuluki sebagai "militer yang sipilis"."

Tetangganya, seorang dukun pijat keluaran Ucla (Universitas Claten) tidak mau kalah. "Menurut hemat saya, belajar dari sejarah yang ada, nama presiden Indonesia itu idealnya ada vocal "o"-nya. Makanya Gus Dur dan Habibie "tidak betah", hanya mampir sebentar, cuma mampir minum. Itu antara lain karena tidak siap secara batin atawa "maqam"nya kurang cocok untuk itu. Oya, saya setuju dengan pendapatmu tadi wahai sobatku dukun bayi, bahwa Megawati itu jadi presiden antara lain karena unsur "Sukarno Putri" nya. Lebih tepatnya vokal "o" di Sukarno Putri. Vokal "i" di Megawati itu dari satu sisi adalah kurang kuat (untuk tidak mengatakan lemah)."

Tetangganya, seorang tukang ojek, yang turut menyaksikan perdebatan itu pun urun rembug. "Kalian itu pada ngawur. Itu semua hanya pelintiran dan upaya "mempleset-plesetkan". Istilah Jawa-nya "otak atik gathuk". Tapi tidak apa, kalian lumayan "kreatif" walau agak naif dan mengada-ada sih. Dalam beberapa hal sama "kreatif" dan terkesan “mengada-ada”-nya dengan orang yang bilang bahwa, "kalau negara ini mau dapat "petunjuk", maka harus rela dipimpin oleh orang yang bisa memberi "petunjuk". Sekali saya tegaskan, menurut hemat saya, semuanya adalah "otak atik gathuk", jadi jangan lantas "diimani" secara membabi buta."