by: Dr. Asfa Widiyanto, M.A.
Tersebutlah di sebuah kampung nan asri, di sore yang indah dengan dihiasi angin semilir sepoi-sepoi, terjadilah percakapan obrolan ngalor ngidul (ngetan ngulon, sampai capek) antara Gus Tenan yang bukan Gus-gusan (G) dan Dul Kiyik (D).
D: Assalamu'alaikum Gus.
G: Wa'alaikum al-salam. Mangga, silakan duduk.
D: Gini Gus. Kedatangan saya kesini pertama adalah untuk silaturrahim. Yang kedua adalah pingin tanya sedikit tentang masalah ormas (organisasi kemasyarakatan).
G: Mangga. Sampeyan ceritakan aja, saya dengarkan dengan seksama.
D: Gini lho Gus. Saya kan pernah dibaiat untuk masuk oleh sebuah organisasi, tapi kemudian selang beberapa lama saya pingin keluar dari organisasi tersebut itu. Pertanyaannya saya adalah bolehkah saya kemudian keluar dari organisasi tersebut?
G: Pertanyaanmu bagus sekaligus mengkhawatirkan. Gini lho cah bagus. seperti sampeyan ketahui sendiri ada banyak ormas di sekeliling kita, contohnya Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, PKS, PBB, HTI, FPI, Darul Hadits dan banyak lagi yang lainnya. Dan seperti yang sampeyan ketahui sendiri, sebagian ormas-ormas tadi menerapkan sistem baiat sebelum menerima seseorang sebagai anggota. Sebenarnya ya cah bagus, itu baiat lebih pada fungsi sosio-psikologis, untuk mengikat seseorang itu pada organisasi, supaya loyal. Walau jelas ada makna sosio-religious dan teologis-nya.
D: Tapi Gus. Sebagian mereka sering mengutip ayat baiat dalam al-Qur'an: "Mereka yang berbaiat kepadamu, sebenarnya mereka berbaiat pada Allah".
G: OK kalau mereka pakai dalil itu. Walau sebenarnya itu ayat, khitab-nya (addressee-nya) adalah Nabi Muhammad saw. Tapi itu masih syah-syah aja. Yang menurut saya agak mengkhawatirkan adalah sekarang ada beberapa orang yang terlalu mendewa-dewakan ormasnya, hampir setara dengan mereka membela dan menjunjung agama Islam. Padahal kan lain, itu ormas Islam lain dengan agama Islam itu sendiri, sehingga tidak perlu sebenarnya kita membela ormas Islam sampai terlalu ngotot dan kelewat batas.
D: Satu lagi Gus. Berarti orang yang keluar dari ormas tadi, walau sebelumnya sudah baiat, tidak bisa dihukumi murtad ya?
G: Setahu saya, terminologi murtad itu untuk yang keluar dari Islam. Kalau ada ormas yang pakai istilah murtad untuk menghukumi orang yang keluar dari kelompoknya ya silakan aja. Buat kamus istilah sendiri juga tidak masalah, hehheh. Kata Gus Dur, gitu aja repot.
D: Gus satu lagi nih Gus.
G: Sampeyan itu cakep cakep kok tidak kreatif, dari tadi satu kali satu kali terus.
D: Heh hehe. Itu ada beberapa ormas yang mensyaratkan calon anggotanya untuk taubat dulu, sebelum dia bisa dibaiat sebagai anggota. Karena pemimpin di ormas ini menganggap bahwa hidupnya calon tadi sebelum masuk ormas itu dipenuhi dengan dosa, dan dia dulunya belum bisa melaksanakan Islam secara kaffah karena belum masuk ormas itu.
G: Hehhe. Pertanyaanmu menggelikan. Tapi itu memang fenomena di masyarakat kita. Yang saya agak ragukan nih, apakah dengan masuk ormas tadi dijamin selamat di akhirat. Apakah orang-orang yang di luar ormas tersebut adalah sesat dan perlu didakwahi, jadi "mad'u" (obyek dakwah) gitu. Saya kadang berpikir 'ulama-'ulama besar dulu aja tidak seperti itu. Ada nih seorang 'ulama' yang berkata: "Salah satu hal yang bisa membuat posisi kita rendah di hadapan Allah adalah merasa paling saleh, paling suci, paling selamat, paling bersih dari orang lain".
G: Kalau boleh tahu, kamu itu tadi pingin keluar dari organisasi apa?
D: Gini Gus. Saya pingin keluar dari IPNU, dan pingin masuk ke PMII.
G: Walah Dul Dul. Kamu itu ngajak guyon. Kedua-duanya itu sejalur, sama-sama badan otonomnya NU. Tiwasan saya jawab pertanyaanmu tadi dengan serius, petentengan.
D: Ngapuntene Gus, mohon maaf. Matur nuwun sanget Gus. Kalau gitu, saya pamit dulu. wassalamu'alaykum
G: Wa'alaykumussalam.
****
(Selang beberapa menit)
G: Lho sampeyan itu gimana to. Tadi dah pamit, kok masih muter-muter di situ aja, sambil cengas-cengis.
D: Anu Gus. Nuwun Sewu. Kalau boleh, saya mau minta rokoknya Gus. Nuwun sewu nggih Gus. Tadi lama ngobrol dengan Gus sampai bibir kecut. Makanya sekalian minta obat, yakni rokok. Tahu sendiri kan Gus, saya kan ittiba' (mengikuti) njenengan, jadi ahli hisab
G: Kamu itu alasan tok. Tapi aku akui pintar juga kamu cari alasan, pakai alasan ittiba' lagi. Ya dah, silakan ambil itu rokokku di pojokan. Tapi tolong jangan dihabiskan ya. Itu biasanya nanti siang itu juga ada tukang sulap mampir, mau silaturrahim katanya, biar rezekinya lancar. Dan biasanya sebelum pulang juga minta kenang-kenangan rokok, biar dapat barakah katanya, dapat rokoknya Gus. Alasan aja. Tapi aku kok heran dengan tukang sulap ini, kalau dia bisa nyulap, kenapa dia tidak nyulap itu lidi jadi rokok sekalian.
Oya, ada satu lagi. Itu ada juga mahasiswa yang sering mampir di sini, minta rokok. Ini mahasiswa juga tidak jelas, kerjaannya youtube-an aja. Kalau sudah capek youtube-an mampir ke sini biasanya, silaturrahim katanya, sambil minta rokok. Ini alasannya kurang kreatif, ikut-ikutan sahabatnya yang tukang sulap kelihatannya.
Dan yang terakhir nih, seorang wanita. Tadi dia mampir seraya mengutarakan maksudnya, mau minta rokok. Katanya untuk nyulut dan nyelomot mantan majikannya, yang dulu pernah menyiksa dia dengan rokok. Katanya dia mau bilang ke itu majikan: "Ini rokok dari Gus lho, barakah. Kamu orang harus terima saya sulut pakai rokok ini. Coba kamu pikir-pikir, pilih mana, kamu saya sulut sekarang biar impas atau nanti aja nunggu di akhirat biar disulut malaikat dengan rokok yang lebih besar? Pilih mana hayo!".
Ada-ada aja ini wanita, mau balas dendam aja sampai bawa-bawa barakah, bawa-bawa siksa di akhirat. Nanti orang-orang tadi, biar saya suruh ngaji kitab "Tanbih al-Ghafilin" dan "Al-Hikam" (karya Ibn 'Ata'illah al-Iskandari) sampai tamat ke Mbah Kyai, supaya tidak seenaknya sendiri.
D: Nggih Gus. Bener. Mereka biar sadar.
G: Ngapain kamu cengas-cengis cah bagus. Ya kamu juga harus ikut ngaji kitab itu.
D: ??/!!!!
D: Oya lupa tadi Gus. untuk rokok yang penuh barakah ini, saya ucapkan jazakumullah khayran.
G: Apa tadi. Coba njenengan ulangi.
D: Sekali lagi shukran jazilan Gus.
G: Sampeyan dapat dari mana kata-kata indah tadi?
D: Anu Gus, dari ngaji di kampung sebelah. Tapi pertanyaan saya ya Gus. Apa mengucapkan kata-kata seperti itu hukumnya wajib?
G: Kata Gus Mus, yang harus itu kita berterima kasih pada orang lain. Terserah mau kita ungkapkan dengan jazakumullah, shukran, terima kasih, matur nuwun, thanks atau danke. Itu semua adalah tradisi.
D: Matur nuwun Gus. Pamit dulu. Wassalamu'alaykum
G: Wa'alaykum al-salam
****
(Dorotheenstrasse, Bonn, Februari 2010. Dr. Asfa Widiyanto, M.A.)
14 years ago
semoga tukang sulap dan yang hobi yutuban itu ditunjukkan ke jalan yang benar,... :)) :)), minimal bisa mencontoh sembadra di ujung belahan dunia sana, btw... itu kan gus tenan? kalo gus tidak tenanan ciri2nya apa ya? :)) :))
ReplyDeleteheheh. gus tenan itu bisa dimintain rokok-)))
ReplyDeletekritik sosial yg cerdas...saya suka mas...:-)
ReplyDeleteObrolan ringan yang mencerahkan
ReplyDeleteSaya suka tulisan seperti ini tak perlu berpikir berat2 tapi cukup mengena.
makasih banyak atas apresiasinya. blog saya yg baru ada di
ReplyDeletehttp://asfa-widiyanto-scholarly.blogspot.com/