by: Asfa Widiyanto
Kenyataan bahwa kita dilahirkan itu sudah menunjukkan keterbatasan kita. Kelahiran sendiri menggarisbawahi bahwa keberadaan kita meniscayakan perantaraan (dan bantuan) makhluk lain. Kita tidak "ada" dengan sendirinya, karena itu pada hakekatnya kita adalah "ada" yang nisbi atau relatif (mumkin al-wujud, possible being). Satu fakta lagi, kita dilahirkan di dunia, sebuah tempat yang relatif terbatas.
Dengan demikian alangkah indahnya bila menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas, antara lain oleh ruang (space, raum) dan waktu (time, zeit). Perspektif dan persepsi kita tentang realitas sekeliling kita sedikit banyak dipengaruhi oleh cerapan inderawi kita terhadap fenomena yang ada, yang dilingkupi oleh ruang dan waktu tertentu. Karena indera kita itu terbatas (dan juga dibatasi ruang dan waktu, serta melekat pada diri kita yang, by nature, terbatas), maka hasil olah pikir kita berdasarkan cerapan tadi juga memiliki nilai "keterbatasan".
Adalah makhluk yang arif jika menyadari "keterbatasan" itu, seraya mengoptimalkan apa yang dianugerahkan Tuhan, untuk memahami realitas secara relatif lebih luas (walau masih dalam kerangka "keterbatasan" tadi). Makhluk yang arif tadi, dengan menyadari "keterbatasan"nya, juga dengan lapang dada mau menimbang dan memperhatikan produk pikir makhluk lain, karena menyadari bahwa bisa saja makhluk lain tadi membeberkan dan menampilkan sisi realitas yang tidak tersentuh oleh indera dan rasionya. Pandangan makhluk lain tadi berpotensi memperkaya pemahaman, pandangan dan persepsinya terhadap realitas.
Manusia merupakan makhluk yang dianugerahi Allah dengan perbedaan bzw. keunikan. Menganggap diri kita paling benar ketika kebetulan dalam posisi berbeda dengan orang lain bisa dianggap sebagai salah satu indikasi kekurangluasan cara berpikir dan kekurangdewasaan kita. Dalam hal ini, keseragaman adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Salah satu yang bisa dilakukan sementara orang adalah "memodifikasi" supaya kelihatan seragam (dan itu dari satu sisi bisa dikatakan relatif kontra-produktif).
Di penghujung tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca dan terutama penulis sendiri untuk merenungkan perkataan seorang ´ulama´abad ke-19: "Ada satu sifat yang jika melekat pada diri seorang anak manusia, berpotensi menurunkan derajat manusia tersebut di hadapan Sang Pencipta. Sifat atau perangai tersebut adalah merasa dirinya lebih berilmu, lebih utama, lebih bersih dan lebih suci daripada orang lain.".
14 years ago
No comments:
Post a Comment