Monday 25 May 2009

Bacaan "Indah" di Masa "Indah" Itu (Juz. 2)

by: Asfa Widiyanto

Fatwa seorang bakul jamu, “kadang kita harus hati-hati dalam mencerna dan menelan tulisan di media semacam “era muslim” dan “suara hidayatullah”. Sebagian tulisan dalam media ini kadang mencampuradukan (sampai “mulek” dan tidak jelas) antara “analisis”, “fakta”, dan “penghakiman”. Sebagian tulisan dalam media ini kadang mengaduk-aduk dan membidik “sentimen” dan “emosi” keagamaan, belum beranjak ke ranah “kedewasaan beragama” alih-alih pada spiritualitas. Walau harus diakui bahwa ada sebagian tulisan di media ini sudah menyentuh ranah “kedewasaan beragama”.

“Kedewasaan beragama” adalah sebuah keberagamaan atawa sikap beragama yang berupaya memaknai kesalehan dan keimanan dalam arti luas, antara dengan menghayati makna kesalehan dan keimanan bagi kemaslahatan bangsa, agama dan umat manusia secara umum. Sikap beragama yang tidak mudah tergesa-gesa dalam “menghakimi” orang lain yang berbeda sikap dan pandangan. Sikap beragama yang menghindari menyalahkan dan mengkambinghitamkan orang lain sebagai penyebab dalam melupakan sebagian ajaran agama. Salah satu contoh dari tulisan bernuansa relatif lebih positif ini adalah tulisan seorang bonek di “era muslim” (sengaja saya tulis ini biar tidak diultimatum untuk mencabut pernyataan oleh bonek yang dirahmati Allah itu--)).”

Pola tulisan yang kurang dewasa itu memang bisa kita temukan di media-media lain (seperti kata Ike) walau dengan kadar dan intensitas yang berbeda-beda. Karena itu, dibutuhkan kekritisan (di samping juga kearifan) dalam mencerap semua informasi, baik yang berasal dari kelompok kita sendiri maupun dari kelompok lain. Sikap kritis, klarifikatif, tabayyun atau term lain yang senada memang layak kita pelihara dalam menyikapi setiap informasi. Sedangkan kearifan memberikan ruang yang relatif layak dalam diri kita untuk menerima kemungkinan adanya kebenaran di kelompok lain.

Si penjual buah berujar, “Kita sebaiknya lebih memperhatikan apa yang dibicarakan (materi pembicaraan) dari pada orang yang mengeluarkan pernyataan. Ungkapan ini menandaskan bahwa kearifan itu bisa muncul dari mana saja, dan kadang tidak terikat dengan status sosial dan embel-embel dari “produsen statement”. Ungkapan ini juga senada dengan ´ambillah hikmah dimana saja sekalipun itu keluar dari mulut makhluk yang kita anggap hina´. Di sisi lain, kita dianjurkan untuk ´memperhatikan dari mana kita mengambil ilmu agama kita´. Dalam khazanah Islam, ungkapan ini kemudian meniscayakan perlunya akan guru yang otoratif dan melahirkan konsep-konsep semacam silsila (chain of authority), isnad (chain of transmission) dan ijaza (licence or authorization). Di sisi lain lagi, kita dianjurkan untuk melakukan klarifikasi (tabayyun) atas informasi yang kita terima dari orang lain. Teks aslinya adalah “idha ja´akum fasiq bi naba´” (jika seorang fasiq membawa kabar padamu). Walau sikap kritis sebaiknya kita terapkan pada hampir setiap kita menerima informasi dari orang lain. So wahai bakul jamu, pikirkan dan renungkan sendiri relevansi dan korelasi antara ketiga hal itu. Itu PR buatmu!.”

No comments:

Post a Comment