Thursday 4 February 2010

Obrolan tentang Hukum Keluar dari Ormas Islam (Eh Ujung-ujungnya Minta Rokok)

by: Dr. Asfa Widiyanto, M.A.


Tersebutlah di sebuah kampung nan asri, di sore yang indah dengan dihiasi angin semilir sepoi-sepoi, terjadilah percakapan obrolan ngalor ngidul (ngetan ngulon, sampai capek) antara Gus Tenan yang bukan Gus-gusan (G) dan Dul Kiyik (D).
D: Assalamu'alaikum Gus.
G: Wa'alaikum al-salam. Mangga, silakan duduk.
D: Gini Gus. Kedatangan saya kesini pertama adalah untuk silaturrahim. Yang kedua adalah pingin tanya sedikit tentang masalah ormas (organisasi kemasyarakatan).
G: Mangga. Sampeyan ceritakan aja, saya dengarkan dengan seksama.
D: Gini lho Gus. Saya kan pernah dibaiat untuk masuk oleh sebuah organisasi, tapi kemudian selang beberapa lama saya pingin keluar dari organisasi tersebut itu. Pertanyaannya saya adalah bolehkah saya kemudian keluar dari organisasi tersebut?
G: Pertanyaanmu bagus sekaligus mengkhawatirkan. Gini lho cah bagus. seperti sampeyan ketahui sendiri ada banyak ormas di sekeliling kita, contohnya Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, PKS, PBB, HTI, FPI, Darul Hadits dan banyak lagi yang lainnya. Dan seperti yang sampeyan ketahui sendiri, sebagian ormas-ormas tadi menerapkan sistem baiat sebelum menerima seseorang sebagai anggota. Sebenarnya ya cah bagus, itu baiat lebih pada fungsi sosio-psikologis, untuk mengikat seseorang itu pada organisasi, supaya loyal. Walau jelas ada makna sosio-religious dan teologis-nya.
D: Tapi Gus. Sebagian mereka sering mengutip ayat baiat dalam al-Qur'an: "Mereka yang berbaiat kepadamu, sebenarnya mereka berbaiat pada Allah".
G: OK kalau mereka pakai dalil itu. Walau sebenarnya itu ayat, khitab-nya (addressee-nya) adalah Nabi Muhammad saw. Tapi itu masih syah-syah aja. Yang menurut saya agak mengkhawatirkan adalah sekarang ada beberapa orang yang terlalu mendewa-dewakan ormasnya, hampir setara dengan mereka membela dan menjunjung agama Islam. Padahal kan lain, itu ormas Islam lain dengan agama Islam itu sendiri, sehingga tidak perlu sebenarnya kita membela ormas Islam sampai terlalu ngotot dan kelewat batas.
D: Satu lagi Gus. Berarti orang yang keluar dari ormas tadi, walau sebelumnya sudah baiat, tidak bisa dihukumi murtad ya?
G: Setahu saya, terminologi murtad itu untuk yang keluar dari Islam. Kalau ada ormas yang pakai istilah murtad untuk menghukumi orang yang keluar dari kelompoknya ya silakan aja. Buat kamus istilah sendiri juga tidak masalah, hehheh. Kata Gus Dur, gitu aja repot.
D: Gus satu lagi nih Gus.
G: Sampeyan itu cakep cakep kok tidak kreatif, dari tadi satu kali satu kali terus.
D: Heh hehe. Itu ada beberapa ormas yang mensyaratkan calon anggotanya untuk taubat dulu, sebelum dia bisa dibaiat sebagai anggota. Karena pemimpin di ormas ini menganggap bahwa hidupnya calon tadi sebelum masuk ormas itu dipenuhi dengan dosa, dan dia dulunya belum bisa melaksanakan Islam secara kaffah karena belum masuk ormas itu.
G: Hehhe. Pertanyaanmu menggelikan. Tapi itu memang fenomena di masyarakat kita. Yang saya agak ragukan nih, apakah dengan masuk ormas tadi dijamin selamat di akhirat. Apakah orang-orang yang di luar ormas tersebut adalah sesat dan perlu didakwahi, jadi "mad'u" (obyek dakwah) gitu. Saya kadang berpikir 'ulama-'ulama besar dulu aja tidak seperti itu. Ada nih seorang 'ulama' yang berkata: "Salah satu hal yang bisa membuat posisi kita rendah di hadapan Allah adalah merasa paling saleh, paling suci, paling selamat, paling bersih dari orang lain".
G: Kalau boleh tahu, kamu itu tadi pingin keluar dari organisasi apa?
D: Gini Gus. Saya pingin keluar dari IPNU, dan pingin masuk ke PMII.
G: Walah Dul Dul. Kamu itu ngajak guyon. Kedua-duanya itu sejalur, sama-sama badan otonomnya NU. Tiwasan saya jawab pertanyaanmu tadi dengan serius, petentengan.
D: Ngapuntene Gus, mohon maaf. Matur nuwun sanget Gus. Kalau gitu, saya pamit dulu. wassalamu'alaykum
G: Wa'alaykumussalam.
****
(Selang beberapa menit)
G: Lho sampeyan itu gimana to. Tadi dah pamit, kok masih muter-muter di situ aja, sambil cengas-cengis.
D: Anu Gus. Nuwun Sewu. Kalau boleh, saya mau minta rokoknya Gus. Nuwun sewu nggih Gus. Tadi lama ngobrol dengan Gus sampai bibir kecut. Makanya sekalian minta obat, yakni rokok. Tahu sendiri kan Gus, saya kan ittiba' (mengikuti) njenengan, jadi ahli hisab
G: Kamu itu alasan tok. Tapi aku akui pintar juga kamu cari alasan, pakai alasan ittiba' lagi. Ya dah, silakan ambil itu rokokku di pojokan. Tapi tolong jangan dihabiskan ya. Itu biasanya nanti siang itu juga ada tukang sulap mampir, mau silaturrahim katanya, biar rezekinya lancar. Dan biasanya sebelum pulang juga minta kenang-kenangan rokok, biar dapat barakah katanya, dapat rokoknya Gus. Alasan aja. Tapi aku kok heran dengan tukang sulap ini, kalau dia bisa nyulap, kenapa dia tidak nyulap itu lidi jadi rokok sekalian.

Oya, ada satu lagi. Itu ada juga mahasiswa yang sering mampir di sini, minta rokok. Ini mahasiswa juga tidak jelas, kerjaannya youtube-an aja. Kalau sudah capek youtube-an mampir ke sini biasanya, silaturrahim katanya, sambil minta rokok. Ini alasannya kurang kreatif, ikut-ikutan sahabatnya yang tukang sulap kelihatannya.

Dan yang terakhir nih, seorang wanita. Tadi dia mampir seraya mengutarakan maksudnya, mau minta rokok. Katanya untuk nyulut dan nyelomot mantan majikannya, yang dulu pernah menyiksa dia dengan rokok. Katanya dia mau bilang ke itu majikan: "Ini rokok dari Gus lho, barakah. Kamu orang harus terima saya sulut pakai rokok ini. Coba kamu pikir-pikir, pilih mana, kamu saya sulut sekarang biar impas atau nanti aja nunggu di akhirat biar disulut malaikat dengan rokok yang lebih besar? Pilih mana hayo!".
Ada-ada aja ini wanita, mau balas dendam aja sampai bawa-bawa barakah, bawa-bawa siksa di akhirat. Nanti orang-orang tadi, biar saya suruh ngaji kitab "Tanbih al-Ghafilin" dan "Al-Hikam" (karya Ibn 'Ata'illah al-Iskandari) sampai tamat ke Mbah Kyai, supaya tidak seenaknya sendiri.
D: Nggih Gus. Bener. Mereka biar sadar.
G: Ngapain kamu cengas-cengis cah bagus. Ya kamu juga harus ikut ngaji kitab itu.
D: ??/!!!!

D: Oya lupa tadi Gus. untuk rokok yang penuh barakah ini, saya ucapkan jazakumullah khayran.
G: Apa tadi. Coba njenengan ulangi.
D: Sekali lagi shukran jazilan Gus.
G: Sampeyan dapat dari mana kata-kata indah tadi?
D: Anu Gus, dari ngaji di kampung sebelah. Tapi pertanyaan saya ya Gus. Apa mengucapkan kata-kata seperti itu hukumnya wajib?
G: Kata Gus Mus, yang harus itu kita berterima kasih pada orang lain. Terserah mau kita ungkapkan dengan jazakumullah, shukran, terima kasih, matur nuwun, thanks atau danke. Itu semua adalah tradisi.
D: Matur nuwun Gus. Pamit dulu. Wassalamu'alaykum
G: Wa'alaykum al-salam

****
(Dorotheenstrasse, Bonn, Februari 2010. Dr. Asfa Widiyanto, M.A.)

Friday 10 July 2009

Doraemon, Capres Capresan dan Capres Beneran

by: Asfa Widiyanto

“Peristiwa” pencontrengan (ketika rakyat dan bangsa Indonesia "dipaksa" sejarah untuk menjalani “ritual” yang bernama pemilu) telah berlalu, namun menyisakan begitu banyak kesan di benak kita. Salah satu yang saya tangkap (ini kenapa saya tulis “tangkap” ya, kayak mau mencuri ayam aja harus ditangkap dulu, saya tidak habis pikir) di sela-sela gegap gempita event ini adalah penyandingan tokoh-tokoh doraemon dan para capres di negeri kita tercinta. Ilustrasi tentang Doraemon dan pilpres bisa dilihat di sini misalnya http://sikathabis.multiply.com/photos/album/450. Saya
kurang tahu, ini "kreatifitas" bermula dan berujung dari makhluk mana.

Tentang penyandingan ini ada yang melihatnya sebagai pelecehan. Ada yang melihat sebagai "buah" kreatifitas (ini mesti yang ngomong penjual buah, orang nyidam buah dan sebangsanya) dan upaya "demistifikasi" figur capres (yang ngomong poin terakhir ini mesti orang yang sok keminter). Bagi kelompok terakhir, makhluk bernama capres bukanlah sesuatu yang tabu untuk dikarikaturkan, atawa disandingkan dengan tokoh-tokoh kartun.

Fenomena penyandingan capres dengan tokoh kartun itu mungkin sebagai efek dari sudah terbukanya "kran" demokrasi, terutama sejak era reformasi.
(Oya, kenapa ini harus pakai istilah “kran” ya, pakar politik analognya dan logikanya kadang "anakronis". Kalau arkeolog dan sejarawan mungkin tertarik untuk melihat apakah kran itu dah “berkeliaran” di masa yunani kuno saat para filsuf “menelurkan” (ini filsuf kayak ayam aja pakai aksi menelurkan segala) dan “menggembar-gemborkan” (ini lagi filsuf gembar gembor kayak kernet, calo dan tukang palak dan sebangsanya) konsep demokrasi. Kalimat dalam kurung(an) ini tidak logis, jadi jangan diperhatikan).

Oya, mungkin juga karena makhluk kreatif yang menyandingkan capres dengan tokoh-tokoh di dunia doraemon ini terlalu yakin seyakin-yakinnya, sebebas-bebasnya, dan sebablas-bablasnya (dan berpikir kelewat positif) bahwa tidak akan ada orang-orang yang akan membela capres (dan parpol) dengan sangat semangat seperti halnya mereka membela Nabi dan agama.

Saturday 30 May 2009

Capres-capresan sebagai Ajang Pembelajaran Politik

by: Asfa Widiyanto


Terus terang saya sangat terkesan dengan dinamika diskursus pilpres di beberapa media massa dan mailing list akhir-akhir ini. Semoga kita semua, tanpa kecuali, bisa mengambil sisi positifnya. Kita boleh aja ngefans dengan salah satu capres, tapi semoga kita (termasuk saya, karena kecenderungan itu manusiawi) tidak tergiur dan tergoda utk melakukan "negative campaign". Saya sangat sadar bahwa apa pun pilihan kita di pilpres nanti, kita tetap satu bangsa dan brsaudara.

Dialektika dalam ngefans-ngefans-an capres itu tentu ada nilai positifnya, antara lain sebagai ajang pembelajaran politik, supaya kita bisa lebih "melek" dan cerdas secara politik. Dan tentunya berpolitik secara sehat akan lebih menambah nilai positif itu, yang pada gilirannya akan turut bersumbangsih secara positif bagi kemajuan bangsa.

Widi
(yang untuk sementara lebih senang mengiklankan diri sendiri daripada mengiklankan capres-))

Monday 25 May 2009

Bacaan "Indah" di Masa "Indah" Itu (Juz. 2)

by: Asfa Widiyanto

Fatwa seorang bakul jamu, “kadang kita harus hati-hati dalam mencerna dan menelan tulisan di media semacam “era muslim” dan “suara hidayatullah”. Sebagian tulisan dalam media ini kadang mencampuradukan (sampai “mulek” dan tidak jelas) antara “analisis”, “fakta”, dan “penghakiman”. Sebagian tulisan dalam media ini kadang mengaduk-aduk dan membidik “sentimen” dan “emosi” keagamaan, belum beranjak ke ranah “kedewasaan beragama” alih-alih pada spiritualitas. Walau harus diakui bahwa ada sebagian tulisan di media ini sudah menyentuh ranah “kedewasaan beragama”.

“Kedewasaan beragama” adalah sebuah keberagamaan atawa sikap beragama yang berupaya memaknai kesalehan dan keimanan dalam arti luas, antara dengan menghayati makna kesalehan dan keimanan bagi kemaslahatan bangsa, agama dan umat manusia secara umum. Sikap beragama yang tidak mudah tergesa-gesa dalam “menghakimi” orang lain yang berbeda sikap dan pandangan. Sikap beragama yang menghindari menyalahkan dan mengkambinghitamkan orang lain sebagai penyebab dalam melupakan sebagian ajaran agama. Salah satu contoh dari tulisan bernuansa relatif lebih positif ini adalah tulisan seorang bonek di “era muslim” (sengaja saya tulis ini biar tidak diultimatum untuk mencabut pernyataan oleh bonek yang dirahmati Allah itu--)).”

Pola tulisan yang kurang dewasa itu memang bisa kita temukan di media-media lain (seperti kata Ike) walau dengan kadar dan intensitas yang berbeda-beda. Karena itu, dibutuhkan kekritisan (di samping juga kearifan) dalam mencerap semua informasi, baik yang berasal dari kelompok kita sendiri maupun dari kelompok lain. Sikap kritis, klarifikatif, tabayyun atau term lain yang senada memang layak kita pelihara dalam menyikapi setiap informasi. Sedangkan kearifan memberikan ruang yang relatif layak dalam diri kita untuk menerima kemungkinan adanya kebenaran di kelompok lain.

Si penjual buah berujar, “Kita sebaiknya lebih memperhatikan apa yang dibicarakan (materi pembicaraan) dari pada orang yang mengeluarkan pernyataan. Ungkapan ini menandaskan bahwa kearifan itu bisa muncul dari mana saja, dan kadang tidak terikat dengan status sosial dan embel-embel dari “produsen statement”. Ungkapan ini juga senada dengan ´ambillah hikmah dimana saja sekalipun itu keluar dari mulut makhluk yang kita anggap hina´. Di sisi lain, kita dianjurkan untuk ´memperhatikan dari mana kita mengambil ilmu agama kita´. Dalam khazanah Islam, ungkapan ini kemudian meniscayakan perlunya akan guru yang otoratif dan melahirkan konsep-konsep semacam silsila (chain of authority), isnad (chain of transmission) dan ijaza (licence or authorization). Di sisi lain lagi, kita dianjurkan untuk melakukan klarifikasi (tabayyun) atas informasi yang kita terima dari orang lain. Teks aslinya adalah “idha ja´akum fasiq bi naba´” (jika seorang fasiq membawa kabar padamu). Walau sikap kritis sebaiknya kita terapkan pada hampir setiap kita menerima informasi dari orang lain. So wahai bakul jamu, pikirkan dan renungkan sendiri relevansi dan korelasi antara ketiga hal itu. Itu PR buatmu!.”

Neo-Liberal, Kebangsaan atawa Kerakyatan?

by: Asfa Widiyanto

Ketika seorang teman mengajukan pertanyaan seperti itu, saya pun jadi bingung. Maka kemudian saya menyempatkan diri untuk silaturahim dan bertanya sana sini sinu.
Karena sekarang lagi di desa,saya cuma bisa tanya pada dukun bayi. Beliau berfatwa, "Sejauh ini saya belum melihat perbedaan yang mendasar antara ketiga paham yg digembar-gembor- gemburkan itu. Ketiga istilah itu, sejauh pemahaman saya, tidak berasal dari rumpun yang sama. Penunjukkan ketiga term itu juga menurut saya belum jelas. Pernyataan saya ini juga tidak jelas, dan hanya bertujuan membuat semangkin tidak jelas sesuatu yang kurang jelas".

"Paham jualan capres itu (dan label terhadap program jualan capres) kadang kurang tegas dan pilah substansinya. Apa ini karena tipologi sendiri kadang tumpang tindih dan berselingkuh sana sini. namun kalau pun toh tipologi itu terbiasa tumpang tindih, seharusnya orang yg menggagas dan memberi label pada sebuah pemikiran lebih hati-hati, sehingga isinya juga relatif lebih terarah dan jelas."

Dalam beberapa hal saya lebih menemukan kearifan dalam fatwa bzw. pernyataan dukun bayi daripada pernyataan sementara lembaga. Mungkin karena dia berpikir secara lebih independen dan setia pada idealismenya, pada kaedah berpikir yang sahih. Sedangkan sementara lembaga ini kadang terkesan menggadaikan idealismenya demi menghamba pada “kepentingan politik” tertentu. Dengan kata lain, dari satu sisi, bisa dikatakan mereka ini kaum merdeka dan terpelajar namun dengan "mentalitas budak".

Salam,
Widi (bakal-bakal capres)
“Kalau bangsa ini ingin tetap terjaga “kesatuan” (vidhi, sanskerta) dan bergerak secara progresif dengan berdasar pada “pengetahuan dan kearifan” (vidya, sanskerta), maka pilihlah saya” (Pernyataan ini tidak logis, kontradiktif, tidak pada tempatnya, tarkesan (arogan dan) narsis. Kalau saya memang arif mengapa harus mengaku-aku dan menunjuk-nunjukkan diri sebagai orang yang arif, dan mengapa pula harus mengklaim sebagai satu-satunya orang yang bisa membawa bangsa pada kemajuan berdasar pengetahuan dan kearifan).

Wednesday 13 May 2009

Presiden Negeri Tercinta Itu

by: Asfa Widiyanto

Menurut penerawangan seorang dukun bayi, "Presiden Indonesia itu namanya harus mengandung "Su". Coba liat saja, presiden pertama Sukarno, kedua Suharto, ketiga Habibie (lho yang ini kok ndak ada "Su"-nya....ada aja, Habibie itukan dari bahasa Arab, kalau diterjemahkan ke bahasa jawa jadi Sutrisno. Oya, nama lengkap Habibi itu kan Baharuddin Yusuf Habibie, walau "Su"di "Yusuf" itu kurang dominan, antara lain karena bukan di awal kata), keempat Abdurrahman Wahid (lho yg ini juga tidak ada "Su"-nya....ada aja, Wahid itu kan kalau diterjemahkan ke bahasa Jawa jadi "Suiji"...bentuk penyangatan (ism al-ta´kid) dari "siji", yang berati satu). Megawati juga ada "Su"-nya, kan nama lengkap beliau adalah Megawati Sukarno Putri, dan kata sementara pengamat beliau jadi presiden karena faktor "Sukarno putri"-nya. Presiden kelima juga ada "su"-nya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, seseorang yang dijuluki sebagai "militer yang sipilis"."

Tetangganya, seorang dukun pijat keluaran Ucla (Universitas Claten) tidak mau kalah. "Menurut hemat saya, belajar dari sejarah yang ada, nama presiden Indonesia itu idealnya ada vocal "o"-nya. Makanya Gus Dur dan Habibie "tidak betah", hanya mampir sebentar, cuma mampir minum. Itu antara lain karena tidak siap secara batin atawa "maqam"nya kurang cocok untuk itu. Oya, saya setuju dengan pendapatmu tadi wahai sobatku dukun bayi, bahwa Megawati itu jadi presiden antara lain karena unsur "Sukarno Putri" nya. Lebih tepatnya vokal "o" di Sukarno Putri. Vokal "i" di Megawati itu dari satu sisi adalah kurang kuat (untuk tidak mengatakan lemah)."

Tetangganya, seorang tukang ojek, yang turut menyaksikan perdebatan itu pun urun rembug. "Kalian itu pada ngawur. Itu semua hanya pelintiran dan upaya "mempleset-plesetkan". Istilah Jawa-nya "otak atik gathuk". Tapi tidak apa, kalian lumayan "kreatif" walau agak naif dan mengada-ada sih. Dalam beberapa hal sama "kreatif" dan terkesan “mengada-ada”-nya dengan orang yang bilang bahwa, "kalau negara ini mau dapat "petunjuk", maka harus rela dipimpin oleh orang yang bisa memberi "petunjuk". Sekali saya tegaskan, menurut hemat saya, semuanya adalah "otak atik gathuk", jadi jangan lantas "diimani" secara membabi buta."

Friday 24 April 2009

Bacaan yang “Indah” di Masa-masa “Indah” Itu (Juz 1)

by: Asfa Widiyanto

Membaca tulisan yang banyak beredar di dunia si maya tentang syura yang dilawan-lawankan dengan demokrasi, mengingatkan saya pada buku berjudul “Syura dan Demokrasi” (terjemahan dari karya berbahasa Arab "al-Shura la al-Dimukratiyya") yang sempat menarik perhatian saya saat masa-masa indah di kelas 3 SMP dulu. Buku (yang saya beli dengan menyisihkan uang jajan) itu sempat mengaduk-aduk perasaan saya, memunculkan rasa tidak puas yang relatif berlebihan pada pemerintah. Sempat terlintas di pikiran saya kala itu (terutama setelah membaca buku tentang Syura tadi, yang sayangnya buku saya tadi sudah tidak jelas rimbanya, padahal sampai dibela-belain tidak jajan beberapa hari-:)), bahwa sistem yang ada sekarang adalah sistem kufur, karena itu harus “dihancurkan” dan sebagainya.

Kala SMP itu, yang sering mampir, berkelebatan dan dibaca mata saya adalah buku-buku dan majalah-majalah yang disajikan dengan gaya bahasa yang khas, mudah dipahami, mudah dikunyah. “Bacaan ini membangkitkan ghirah islamiyyah” begitu kata sementara teman saya, kala itu. Kata sementara orang, dari satu sisi, yang disentuh dan dibidik oleh bacaan-bacaan seperti ini adalah “sentimen keberagamaan” atawa “emosi keberagamaan”, belum pada “kedewasaan dan kematangan beragama” alih-alih pada “ranah spiritualitas”. Harus digaris bawahi bahwa pernyataan sementara orang ini, juga belum tentu benar, karena terluncurkan dari manusia, makhluk yang “terbatas” itu.

Masa-masa indah itu kemudian dilanjutkan ketika masuk ke bangku SMA. Di sekolah ini (yang juga tak kalah indahnya) saya mulai dipertemukan, diperkenalkan, dihadapkan dan “diaduk-aduk” oleh warna bacaan lain yang relatif beragam, yang kadang relatif tidak mudah dikunyah, bahkan kadang saya perlu mengernyitkan dahi. Bacaan seperti ini kemudian pada gilirannya sempat memancing “intellectual curiosity” saya antara lain tentang apa sebenarnya kebenaran, apa itu keberagamaan, dan apa sebenarnya sisi positif dari keberagamaan, atau dengan kata lain manfaat keberagamaan bagi kemaslahatan manusia dan sebangsanya.

To be continued…(sabar ya, jangan ditarik-tarik kesimpulan dulu, anggap aja iklan numpang lewat-:)))