Sunday 12 April 2009

Ada Apa dengan Makhluk “Bertampang Sangar” yang Dirahmati Allah Itu

by: Asfa Widiyanto

Salah satu nasehat yang sampai saat ini, bagi penulis sendiri, masih merasa terlalu abstrak adalah tentang sikap kita ketika berpapasan dengan anjing. Dijelaskan bahwa tingkat kesiapan jiwa kita juga antara lain tercermin ketika kita bertemu dan “disapa” anjing, terutama “anjing galak” (penjelasan dan korelasi ini, dari satu sisi, kurang bisa diterapkan pada pawang anjing dan orang yang terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan anjing).

Tipe pertama, orang yang takut pada anjing. Jika dia ini ketemu anjing langsung grogi. Kalau anjing ini menyalak, dia takut, lari terbirit-birit, sampai napasnya tersengal-sengal (seakan kehabisan napas), bermandikan keringat (bahkan ada yang sampai ngompol) dan tidak bisa berpikir dengan sehat. Yang terlintas di benaknya hanyalah kenyataan bahwa anjing adalah binatang yang tidak bisa berpikir. Dia ini kurang memperhatikan bahwa makhluk ini juga menerima rahmat Allah yang juga berpotensi untuk memantulkan sebagian rahmat yang diterima itu kepada makhluk lain.

Tipe kedua, orang yang ketika bertemu dengan anjing, rasa takutnya tidak dominan. Ketika anjing ini menyalak di depannya, dan kebetulan itu di depan rumah majikannya, dia merasa terhina, karena dia merasa lebih cakep dan lebih kuat dari anjing itu. Kalau bukan karena takut berurusan dengan pemilik anjing itu, dia sudah lakukan kekerasan pada anjing ini. Dia ini bete dengan sikap anjing yang arogan karena dilindungi undang-undang. Karena takut pada implikasi hukum ini, dia pun berusaha menenangkan anjing itu, biar tidak melanjutkan salakannya, seraya mengharap bahwa pemiliknya segera menenangkan anjing yang sedang unjuk gigi itu, supaya tidak ada kekerasan yang ia lakukan terhadap anjing itu. Kalau memungkinkan, dia pasti sogok anjing tersebut dengan makanan atawa mainan daripada berisik.

Tipe ketiga, orang yang merasa tenang walau disalaki anjing. Orang ini menyadari bahwa anjing ini juga merupakan makhluk yang tersinari rahmat Allah. Dia berusaha menenangkan anjing tersebut seraya berdoa semoga anjing yang menyalak itu, segera menghentikan aksinya. Dia sama sekali tidak terhina dengan aksi anjing tersebut, sekalipun dia punya kekuatan untuk melumpuhkan anjing tersebut, karena dia menyadari bahwa anjing tersebut memang dididik untuk menyalak ketika melihat orang yang tidak dikenal (anjing bukanlah satpam, yang bisa diajari untuk menanyakan kartu identitas jika ada tamu yang kurang dikenal). Karena ketulusan doanya, anjing itu pun sedikit demi sedikit merendahkan nada salakannya.

Tipe keempat, orang yang dipenuhi dengan sifat Allah yang Maha Pengasih, sehingga anjing yang biasanya galak pun akan bersikap sopan terhadapnya. Diilustrasikan, bahwa singa kelaparan pun kalau berhadapan dengan kekasih Allah ini akan luluh. Manusia yang dianugerahi Allah ini, akan selalu menunjukkan kasih sayang pada semua makhluk tanpa kecuali, dan dia tidak merasa ge er kalau ternyata makhluk lain bersikap sopan terhadapnya. Manusia ini bahkan merasa (terutama ketika bermunajat dan beribadah, yang juga terbawa ketika dia berinteraksi dengan makhluk lain antara lain dengan sikap rendah hati) bahwa dia adalah makhluk yang paling rendah di hadapan Allah, lebih rendah dari anjing yang kini berpose (layaknya foto model) di hadapannya itu. Dia sama sekali terbebas dari perasaan bahwa dia itu adalah paling suci atawa paling dirahmati Allah.

Dikisahkan oleh sohibul hikayat (sebagaimana dituturkan kembali oleh Sheikh Nazim al-Haqqani), ada seorang wali yang setiap datang ke masjid untuk berjama´ah, dia senantiasa rela menunggu sampai semua jama´ah masuk ke masjid dulu. Setelah itu dia baru masuk ke masjid, berdiri di samping rak sepatu dan melaksanakan shalat di situ. Seusai shalat, dia langsung lari keluar seraya berujar dalam batin, „Puji syukur pada Allah yang telah menutupi kejelekan dan aibku sehingga tidak ada orang yang mengetahuinya. Jika mereka ini tahu apa sebenarnya yang tersembunyi dalam diriku tentu mereka akan menyeretku keluar dari masjid, dan melempariku dengan sepatu.“

3 comments:

  1. sekedar catatan di ujung kaki. kategorisasi di atas tidak mesti meniscayakan level, hanya sekedar tipologi.

    ReplyDelete
  2. -bebek pinggir kali-12 April 2009 at 14:58

    "tidak mesti" apa sama dgn "tidak selalu"? kalau ya, berarti kadang applicable kadang ga, other words, kadang levelisasi kadang ga....

    ReplyDelete
  3. makasih atas komen kritisnya den ayune bebek. silakan coba renungkan sendiri di pinggir kali.nanti kalau dah ketemu, tolong undang saya makan ya. danke

    ReplyDelete